Menu Penghulu

Selamat Datang di Kelompok Kerja Penghulu Kementerian Agama Kota Cimahi

Pengurus Pokjahulu Kemenag Kota Cimahi
Sk. Kd.10.24/2/PW.00.01/156/2012
Pembina : Kepala Kemenag Kota Cimahi., Kasie Urais & Peny. Haji., Kepala KUA se Kota Cimahi., Ketua : Budi Ali Hidayat,SHI., Sekr : Drs. H. Abdul Thayyib., Bend : H. Asep Rusyandi, SH., 1) Divisi Kepenghuluan : Heri Setiawan, S.HI., Agus Ganjar., S.Ag., 2) Divisi Ibsos dan Kemitraan Umat Islam/Hisab Rukyat., Drs. Encang Danial 3) Divisi Produk Pangan Halal : Drs. Agus Budiman., 4) Divisi Keluarga Sakinah : Agus Munawarki, S.AgDedi Lesmana, S.HI

Kegiatan Kepenghuluan
1. Fiqih Kepenghuluan/Bahtsul Masail. 2. Fiqih Mawaris 3. Perwakafan. 4. Ibsos 5. Hisab Rukyat 6. Adm. Kepenghuluan
7. Keluarga Sakinah 8. Percepatan Layanan Prima

Profil Pokjahulu Kemenag Kota Cimahi

Foto saya
CIMAHI, JAWA BARAT, Indonesia
Kelompok Kerja Penghulu (Pokjahulu) Kota Cimahi memiliki peran strategis dalam perencanaan kegiatan Penghulu, Pengawasan, Pelayanan, Pencatatan Nikah/Rujuk, Penasihatan/Konsultasi, Keluarga Sakinah, Bahtsul Masail Ahwal Syakhshiyah dan Ibadah Sosial KeIslaman . Profil ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kinerja penghulu dalam pelayanan N/R dan keagamaan kepada masyarakat, baik secara internal maupun eksternal. Secara Internal, profil ini dimaksudkan untuk dijadikan Self Control dan tolak ukur dari kemampuan kinerja dan peranan yang selama ini dilakukan. Dan secara Eksternal, profil ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang kondusif dan ikut mendukung dalam mensukseskan program-program yang dicanangkan di Lingkungan Kementerian Agama Kota Cimahi

Kamis, 05 April 2012

NIKAH DAN RUJUK SIRRI oleh : Budi Ali Hidayat, S.HI

Menurut Kamus Arab Mukhtar shihah  bahasa “SIRRI” adalah sesuatu yang disimpan dan dirahasiakan dari orang lain. Menurut istilah fuqaha Nikah Sirri adalah akad nikah tanpa disaksikan atau disaksikan namun tidak memenuhi syarat sehingga persaksiannya tidak bisa diterima secara syar’i. seperti saksi seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Sebagaian masyarakat di Indonesia istilah nikah sirri berbeda dengan yang diistilahkan oleh fuqaha. Selain nikah sirri ada istilah nikah dibawah tangan atau nikah agama. Yang dimaksud dengan istilah nikah sirri disini disini yaitu, nikah yang tidak tercatat baik di KUA. Begitu juga dengan rujuk sirri namun permasalahan perkara rujuk yang dihadapkan ke KUA hampir tidak ada dan jarang sekali yang diajukan oleh pasangan Pasutri yang telah bercerai. Kebanyakan masyarakat masih memakai cara dengan nikah, talak dan rujuk dengan cara sirri.
        Sebagaimana kita diketahui bahwa di dalam kitab-kitab fiqih belum ada pembahasan tentang pentingnya pencatatan dalam perkawinan, talak dan rujuk oleh Penghulu/PPN bagi pemeluk Agama Islam dan oleh pihak Pengadilan Agama (dalam masalah talak). Bahkan, apabila ada orang yang menikah tidak dicatat secara resmi pernikahannya disebut “pernikahan di bawah tangan, atau Nikah Sirri, ” yang tentu saja konotasinya kurang baik.
        Secara manfaat dan syariat, pencatatan pernikahan diperlukan dan bermanfaat. Manfaatnya adalah sebagai saksi tertulis yang dapat dijadikan barang bukti ketika diperlukan. Apalagi sekarang ini banyak pengakuan terhadap perkawinan yang telah dilakukan.
Pemerintah sebagai fungsi Waliyul Amri mempunyai dua fungsi , yaitu : Fi Harasah al Din (Menjaga Agama) dan fi siyasah al dunya (mengatur urusan dunia) berhak untuk dipatuhi dan ditaati oleh warga negaranya. Pemerintah sudah mengantisipasi dan mempersiapkan baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi tindakan-tindakan yang merugikan salah satu pihak terutama pihak kaum perempuan. Sejalan dengan kaidah yang dirumuskan oleh Imam Syafi’i, Tasharuf al imam ‘ala al ra’iyah manut bi al maslahah”, (tindakan pemerintah untuk kepentingan rakyatnya adalah guna mewujudkan kemaslahatan).
Al Lusi dalam Kitab Ruhul Ma’ani mengatakan ; Pemerintah apabila menyuruh sesuatu perbuatan yang hukumnya mubah tetapi mengandung sesuatu maslahat keagamaan, atau melarang sesuatu perbuatan yang mubah, tetapi mengandung kemudharatan yang umum, niscaya wajiblah ditaati perintahnya dan larangannya.
Nikah/Talak/Rujuk secara  sirri dipandang sah menurut hukum syara apabila  telah memenuhi kriteria ketentuan rukun dan syarat. Namun, madharatnya sangat jelas bagi kelangsungan dalam kehidupan rumah tangga. :
1.    Berdosa kepada Allah dan Rasul Nya karena tidak taat kepada Waliyul Amri/Pemerintah :
2.    Tidak memperoleh bukti autentik/legalitas negara yang kuat sebagai pasangan suami istri ;
3.    Apabila terjadi persengketaan dikemudian hari akan ada pihak yang dirugikan baik dari pihak suami, istri atau anak-anak mereka ;
Adapun mashlahat yang diperoleh adanya pencatatan perkawinan dan rujuk yaitu :
1.    Bukti sebagai warga negara yang taat hukum kepada pemerintah/Ulil Amri. Berarti taat kepada Allah dan Rasul Nya.
2.    Bukti autentik sebagai pasangan suami istri dan sebagai warga negara Indonesia.
3.    Menunjang kemaslahatan bersama, dan menghindari kemadaratan dikemudian hari
4.    Tertib hukum baik secara syar’I maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dasar Pengambilan
Surat Al Baqarah ayat 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar………(QS. Al Baqarah :282)  
Dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan perjanjian perserikatan yang tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.Pembuktian itu ialah: 1.Bukti tertulis 2.Saksi 3.Pengawas.

Hasiyah As Shawi,  Ibnu Abi Bakar ar Razi, Mukhtar Shihah,
سرر س ر ر: السِّرُّ الذي يكتم وجمعه
(وَفُسِخَ نِكَاحُ السِّرِّ): أَيْ الاسْتِكْتَامُ قَالَ ابْنُ عَرَفَةَ: نِكَاحُ السِّرِّ بَاطِلٌ, وَالْمَشْهُورُ: أَنَّهُ مَا أُمِرَ الشُّهُودُ حِينَ الْعَقْدِ بِكَتْمِهِ
Mukhtashor Al Mujni, Juz. 1/220, Al Majmu’,Juz. 17/357, Bidayatul Mujtahid, Juz.2/5
وأن عمر رد نكاحاً لم يشهد عليه إلا رجل وامرأة، فقال: «هذا نكاح السر ولا أجيزه ولو تقدمت فيه لرجمت».
Tafisr Al Mawardi, hal.87, Tafsir Ibnu Katsir, hal. 87., Tafsir Qurtubi, juz.5 h. 258. Ruhul Bayan, juz.4. h.240, Tafsir Aisirut Tafasir, juz 1. h. 496 ;
فقال: {يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم} , والطاعة لأولى الأمر مُقَيد بما كان معروفاً للشرع أما في غير المعروف فلا طاعة في الاختيار لحديث: " إنما الطاعة في المعروف, ولا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
Firman Alloh Ta'ala : (wahai orang yang beriman taatlah kalian kepada Alloh dan taat kepada Rasul dan kepada yang memegang kekuasaan padamu). Adapun taat kepada ulil amri merupakan kepanjangan tangan dalam perintah berbuat yang ma'ruf terhadap syara' . adapun perintah ditujukan kepada selain ma'ruf maka, tidak ada ketaatan sebagaimana berbagai referensi hadits. Bahwasanya ketaatan itu didasarkan kepada ma'ruf, tidak ada taat terhadap makhluk dalam masalah maksiyat kepada Alloh.  (QS. An Nisa : 59).
Kitab Al Muwafaqot, Imam Syatibi, juz 2 h. 173
قال تعالى: { يَـأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِى الاٌّمْرِ مِنْكُمْ
وهم الأمراء والعلماء؛ وفي الحديث: «من أطاعَ أميري فقد أطاعني»، وقال: {مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ}
Firman Alloh Ta'ala : (wahai orang yang beriman taatlah kalian kepada Alloh dan taat kepada Rasul dan kepada yang memegang kekuasaan padamu). (An Nisa:59) maksud ULIL AMRI yaitu Umaro dan Ulama. Dalam sebuah hadits ; barang siapa yang taat kepada amir sungguh telah taat padaku. Firman Alloh Ta'ala ; barang siapa yang taat keada Rasul-Nya sungguh telah taat kepada Alloh Robbul Alamin(An Nisa:80)
Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, j.1/141 dan At Tabrizi, Miskatul Mashabih, j.2/334
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: (من أطاعني فقد أطاع اللَّه، ومن عصاني فقد عصى اللَّه، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: (من كره من أميره شيئاً فليصبر، فإنه من خرج من السلطان شبراً مات ميتةً جاهلية) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
وعن أبي بكرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: (من أهان السلطان أهانه اللَّه) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ. وفي الباب أحاديث كثيرة في الصحيح. وقد سبق بعضها في أبواب.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya; "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka ia telah bermaksiat pula kepada Allah dan barangsiapa yang mentaati amir - pemegang pemerintahan, maka ia benar-benar mentaati saya dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amir, maka ia benar-benar bermaksiat kepada saya." (Muttafaq 'alaih)
Dari lbnu Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang membenci sesuatu tindakan dari amirnya - yang memegang pemerintahannya, maka hendaklah ia bersabar, sebab sesungguhnya saja barangsiapa yang keluar - yakni membangkang - dari seseorang sultan - penguasa negara - dalam jarak sejengkal, maka matilah ia dalam keadaan mati jahiliyah." (Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Bakrah r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang merendahkan seseorang sultan - penguasa negara, maka ia akan direndahkan oleh Allah." Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
Tafsir Razi, juz 27/508, Tafsir Gharaib al Qur’an, 14/273, Musnad Syafi’I, juz 1/388
   لا ضرر ولا ضرار فى الاسلا م (رواه البخارى)
 “Tidak boleh menimbulkan mudharat bagi sendiri maupun orang lain dalam Islam” (HR. Bukhari)
Manahilul Irfan, juz.1/396, Syarah Jalalul mahali, Ushul FiqihHasyiyah banani, Juz. 1/298
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemashlahatan
Al Asbah wa Nadzair, Ushul Fiqih merupakan Nas Ucapan Imam Syafi’I ra.
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Perlakuan pemimpin terhadap rakyat disesuaikan dengan kemaslahatan 
حكم الحاكم الزام يختلف الخلاف
”Keputusan Pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.
الحكم قبل البيان ضال وترك الحكم بعد البيان ظلم
Melakukan hukum sebelum adannya keterangan/penjelasan adalah kesesatan, dan meninggalkan hukum sesudah adanya keterangan/penjelasan adalah kezaliman.
UU. No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 dan 2;
1)    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2)    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PP No. 9/1975 BAB II Pencatatan Perkawinan Pasal 1
(1)    Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

dalam Bab II pasal 4 sampai dengan 7 yaitu :Pasal 4 menjelaskan sahnya suatu perkawinan.  Pasal 5 terdiri dari dua ayat, yaitu:
1.    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Setiap perkawinan harus di catat.
2.    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 tahun 1954.
Pasal 6 terdiri dari dua ayat, yaitu:
1.    Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2.    Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 terdiri dari 4 ayat, yaitu:
1.    Perkawinan hanya dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2.    Dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3.    Itsbat nikah yang dapat diajukan pada Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.    Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b.    Hilangnya Akta Nikah.
c.    Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d.    Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974.
e.    Pekawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU NO. 1 tahun 1974.
4.    Yang berhak mengajukakn permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
KHI No. 1/1991 Pasal 4 dan Pasal 5
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1)    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2)    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar